Rakhmat Antropologi
BAB I
PENDAHULUAN
Antropologi adalah
salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat
suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari
ketertarikan orang-orang Eropa yang
melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang
dikenal di Eropa.Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan
masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah
yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik
beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Objek dari antropologi adalah manusia di
dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan prilakunya. Ilmu pengetahuan
antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat suku
bangsa, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri.Di
samping itu ada pula cabang ilmu antropologi terapan dan antropologi
spesialisasi. Antropology spesialisasi contohnya seperti antropologi politik,
antropologi kesehatan, antropologi ekonomi, dan masih banyak lagi yang lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP-KONSEP DASAR ANTROPOLOGI, KEBUDAYAAN,
PENDIDIKAN, DAN ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
A.
Pengertian Antropologi
Antropologi
berasal dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang
berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis
sekaligus makhluk sosial. Antropologi
adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang
budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal
dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat
istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu
antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada
penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan
masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi
tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan
sosialnya. Para ahli
mendefinisikan antropologi sebagai berikut :
1. Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
2. William A.
Haviland
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
3. David Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
4. E. A.
Hoebel
Antropologi adalah suatu studi tentang manusia dan kerja-kerjanya.
Antropologi adalah suatu studi tentang manusia dan kerja-kerjanya.
Pengertian bagan ruang lingkup antropologi
Antropologi fisik adalah ilmu yang mencoba
menelaah manusia sebagai makhluk fisik yang tumbuh dan berkembang hingga
terjadinya keanekaragaman manusia menurut iri-ciri tubuh atau fenotipe seperti
warna kulit, rambut, warna mata, bentuk hidungdan sebagainya.
Paleo antropologi adalah ilmu yang merupakan bagian dari antropologi fisik yang mencoba menelaah tentang asal usul terjadinya dan perkembangan makhluk hidup.
Somatologi adalah bagian ilmu dari antropologi fisik dalam arti khusus, yaitu menelaah tentang variasi atau keanekaragaman. Ciri fenotipe adalah tubuh manusia secara keseluruhan.
contohnya Warna kulit, rambut, warna mata, bentuk hidung dll.
Ciri genotype adalah analisis biologi kimiawi.
Paleo antropologi adalah ilmu yang merupakan bagian dari antropologi fisik yang mencoba menelaah tentang asal usul terjadinya dan perkembangan makhluk hidup.
Somatologi adalah bagian ilmu dari antropologi fisik dalam arti khusus, yaitu menelaah tentang variasi atau keanekaragaman. Ciri fenotipe adalah tubuh manusia secara keseluruhan.
contohnya Warna kulit, rambut, warna mata, bentuk hidung dll.
Ciri genotype adalah analisis biologi kimiawi.
contohnya sifat anak yang diturunkan oleh orang tua.
Rasisme adalah suatu paham yang membedakan harkat dan martabat manusia seolah-olah ras yang satu lebih unggul/tinggi dari pada ras yang lain.
Rasisme adalah suatu paham yang membedakan harkat dan martabat manusia seolah-olah ras yang satu lebih unggul/tinggi dari pada ras yang lain.
Antropologi budaya adalah ilmu yang berhubungan dengan kebudayaan
manusia.
Arkeologi berasal dari kata ARCHAIC artinya
KUNO sehingga arkeologi disebut juga sejarah kuno atau sejarah purba, kajian
arkeologi adalah sejarah umat manusia.
Antropometri adalah system dan tekhnik untuk mengukur badan manusia atau
bagian–bagiannya.
Antropometer adalah merupakan salah satu alat yang digunakan dalam antropometer.
Antropometer adalah merupakan salah satu alat yang digunakan dalam antropometer.
Etnolinguistik disebut juga antropologi linguistic adalah bagian dari antropologi yang mengkhususkan penelitiannya terhadap penyebaran bahasa umat manusia diseluruh permukaan bumi.
Basic
vocabulary adalah perbendaharaan yang mendasar. Etnologi menelusuri tentang
ilmu bagian dari antropologi budaya yang mencoba menelusuri asas-asas manusia.
B.
Konsep Dasar Antropologi
Seperti telah dikemukakan
terdahulu, kehidupan manusia di masyarakat atau manusia dalam konteks
sosialnya, meliputi berbagai aspek. Salah satu aspek yang bermakna dalam
kehidupan manusia yang juga mencirikan kemajuannya adalah kebudayaan.
Kebudayaan, akar katanya dari buddayah, bentuk jamak dari Buddhi yang berarti
budi dan akal. Kata buddhayah atau buddhi itu berasal dari bahasa sansekerta.
Dengan demikian, kebudayaan itu dapat diartikan sebagai hal-hal yang
berhubungan dengan budi atau akal.
Mengenai kebudayaan ini,dapat disimak dari beberapa
konsep dari beberapa pakar antara lain C.A Ellwood mengungkapkan :
Kebudayaan
adalah norma kolektif semua pola prilaku ditransparansikan secara sosial
melalui simbol-simbol, dari sini tiap unsur semua kemampuan kelompok umat
manusia yang karakteristik, yang tidak hanya meliputi bahasa, peralatan, industri,
seni, ilmu, hukum, pemerintahan, moral, dan keyakinan-keyakinan saja, melainkan
meliputi juga peralatan material atau
artefak yang merupakan penjelmaam kemampuan budaya yang menghasilkan pemikiran
yang berefek praktis dalam bentuk bangunan, senjata, mesin, media komunikasi,
perlengkapan seni, dsb. Tidak ada kelompok umat manusia yang memiliki maupun yang tidak memiliki bahasa,
tradisi, kebiasaan, dan kelembagaan. Kebudayaan itu bersifat universal yang
merupakan ciri yang berkarakteristik masyarakat manusia.
Konsep
yang dikemukakan oleh Ellwood diatas sangat jelas dan gamblang bahwa kebudayaan
itu hanya menjadi milik otentik manusia. Dari konsep tadi, tercermin pula
konsep-konsep dasar antropologi yang melekat pada kehidupan manusia. Namun
demikian, konsep-konsep dasar itu akan diketengahkan kembali secara lebih
lengkap. Konsep-konsep dasar itu meliputi :
1.
Kebudayaan
2.
Tradisi
3.
Pengetahuan
4.
Ilmu
5.
Teknologi
6.
Norma
7.
Lembaga
8.
Seni
9.
Bahasa
10.
Lambang
Tradisi
adalah kebiasaan-kebiasaan yang terpolakan secara budaya dimasyarakat.
Kebiasaan yang dikonsepkan sebagai tradisi ini karena telah berlangsung secara
turun-temurun, sukar untuk terlepas dari masyarakat. Namun demikian, karena
pengaruh komunikasi dan informasi yang terus-menerus melanda kehidupan masyarakat,
tradisi tadi mengalami pergeseran. Paling tidak berubah bila dibandingkan
dengan maksud semula dalam konteks budaya masa lampau. Tata upacara tertentu di
masyarakat yang semula bernilai ritual kepercayaan, pada saat ini tata upacara
itu masih dilakukan, namun nilainya tidak lagi sebagai suatu bentuk ritual,
melainkan hanya dalam upaya untuk mempertahankan silaturrahmi, bahkan hanya
sebagai hiburan.
Dalam
lingkup antropologi dan kebudayaan, pengetahuan, ilmu dan teknologi merupakan
konsep dasar yang terkait dengan budaya belajar. Tiga konsep dasartersebut saat
ini biasa dijadikan satu sebagai IPTEK. Penyatuan tiga konsep tersebut sangat
beralasan, karena ketiganya sangat srat satu sama lain. jika pengetahuan
merupakan kumulasi dari pengalaman dan hal-hal yang kita ketahui, sedangkan
ilmu merupakan pengetahuan yang telah tersistematisasikan (tersusun) yang
berkarakter tertentu sesuai dengan objek tertentu sesuai dangan objek yang
dipelajari, ruang lingkup telaahnya, dan metode yang dikembangkan serta diterapkannya.
Pengetahuan yang menjadi bidang ilmu, sifatnya masih acak. Adapun penerapan
ilmu dalam kehidupan untuk memanfaatkan sember daya bagi kepentingan manusia,
itulah yang disebut teknologi. Dengan mengetahui kondisi tiap kelompok
masyarakat termasuk tradisi, kebiasaan dan kemampuan IPTEKnya, kita semua akan
mampu memahami dan menghargai keadaan masyarakat yang bagaimanapun dan
dimanapun.
Konsep
lain yang memegang peranan kunci dalam kehidupan masyarakat dan budaya adlah
nilai serta norma. Nilai dan norma sangat erat kaitannya , namun demikian
memiliki perbedaan yang mendasar. Dalam alam fikiran manusia sebagai anggota
masyrakat melekat apa yang di katakana baik dan buruk, sopan dan tidak sopan,
tepat dan tidak tepat, salah dan benar dan sebagainya. Hal itu semua merupakan
nilai yang mengatur , membatasi, dan menjaga keserasian hidup bermasyarakat
orang yang tidak sopan dengan orang tua, orang yang di tuakan dan orang yang
lebih tua , di katakana bahwa orang yang bersangkutan tidak tahu nilai. Dalam
tindakan, perilaku dan perbuatan, seseorang selalu sesuai dengan tradisi,
kebiasaan dan aturan-aturan yang berlaku. Orang tersebut dikatakan mengetahui
nilai dan berpegang pada nilai yang berlaku. Sedangkan norma, lebih mengarah
pada ukuran dan aturan kehidupan yang berlaku di masyarakat.
Selanjutnya,
Koentjaraningrat mencontohkan juga pranata yang berfungsi memenuhi keperluan
kekerabatan yaitu perkawinan, tolong-menolong, sopan santun, pergaulan antar
kerabat dan sebangsanya. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan
matapencaharian , yaitu pertanian, peternakan, industry, perdagangan dsb.
Bahasa
sebagai suatu konsep dasar, memiliki pengertian konotatif yang luas. Bahsa
sebagai suatu konsep, bukan hanya merupakan suatu rangkaian kalimat tertulis
atupun lisan, melainkan pengertiannya itu lebih jauh dari pada hanya sekedar
rangkaian kalimat. Bahasa sebagai suatu konsep, meliputi pengertian sebagai
bahasa anak, remaja, bahasa orang dewasa, bahasa bisnis dsb. Namun demikian,
makna dan nialai bahasa sebagai suatu konsep terletak pada kedudukannya sebagai
alat mengungkapkan perasaan, fikiran dan komunikasi dengan pihak atau orang
lain. Bahasa merupakn alat untuk saling mengerti bagi berbagai pihak sehingga
mampu mengembangkan hidup dan kehidupan ketingkat atu taraf yang lebih
sejahtera. Tidak justru menjadi alat untuk menyengsarakan masyarakat.
Konsep
dasar antropologi juga membicarakan lambang
sebagai konsep dasar. Sesungguhnya, bahasa itu juga merupakan lambang bagi kita manusia,
di mana ungkapan bahasa mencirikan bangsa, Pada ungkapan itu tercermin bahwa
bahasa menjadi lambang bagi suatu bangsa. Hal tersebut dapat di tafsirkan bahwa
bangsa yang bahasa dan tutur katanya baik, mencerminkan bahwa bngsa tersebut
juga termasuk bangsa yang baik. Lambang-lambang selanjutnya seperti, bendera
bagi suatu bangsa, tanda pangkat dan tanda jabatan bagi suatu angkatan,
monument bagi suatu kelompok masyarakat atau bangsa. Semua itu mempunyai makna
masing-masing. Contoh mengenai tanda pangkat dan jabatan, nilainya itu tidak
terletak pada terbuat dari napa tanda tersebut, melainkan melambangkan
kepemimpinan, kewibawaan, kehormatan atau penghargaan. Demikianlah makna lambang dalam kehidupan
berbudaya dan bermasyarakat.
C. Fase – Fase Perkembangan Ilmu Antropologi
1.
Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnogragfi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnogragfi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
2.
Fase Kedua (tahun 1800-an)
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya
Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya
Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
3.
Fase Ketiga (awal abad ke-20)
Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain.
Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain.
Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara
Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya.
Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku
bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk
kepentingan pemerintah kolonial.
4.
Fase keempat ( setelah tahun
1930’an)
Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.
Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.
Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.
Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.
Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
D.
Makna Kebudayaan
Makna kebudayaan, secara sederhana
berarti semua cara hidup (ways of life) yang telah dikembangkan oleh anggota
masyarakat. Dari prespektif lain kita bisa memandang suatu kebudayaan sebagai
perilaku yang dipelajari dan dialami bersama (pikiran, tindakan, perasaan) dari
suatu masyarakat tertentu termasuk artefak-artefaknya, dipelajari dalam arti
bahwa perilaku tersebut disampaikan (transmitted) secara sosial, bukan
diwariskan secara genetis dan dialami bersama dalam arti dipraktekkan baik oleh
seluruh anggota masyarakat atau beberapa kelompok dalam suatu masyarakat.
Masyarakat merupakan suatu penduduk
lokal yang bekerja sama dalam jangka waktu yang lama untuk mencapai tujuan
tertentu, sedangkan kebudayaan merupakan cara hidup dari masyarakat tersebut
atau hal-hal yang mereka pikirkan, rasakan dan kerjakan. Masyarakat mungkin
saja memiliki satu kebudayaan jika masyarakat tersebut kecil, terpisah dan
stabil.
E.
Isi Kebudayaan
Pada dasarnya gejala kebudayaan dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan/aktivitas, gagasan/ide dan artefak yang diperoleh, dipelajari dan dialami. Kebudayaan dapat diklasifikasikan atas terknologi sebagai alat-alat yang digunakan, organisasi sosial sebagai kegiatan institusi kebudayaan dan ideologi yang menjadi pengetahuan atas kebudayaan tersebut. Menurut R. Linton, kebudayaan dapat diklasifikasikan atas:
a) Universals: pemikiran-pemikiran, perbuatan, perasaan dan artefak yang dikenal bagi semua orang dewasa dalam suatu masyarakat.
b) Specialisties: gejala yang dihayati hanya oleh anggota kelompok sosial tertentu.
c) Alternatives: gejala yang dihayati oleh sejumlah individu tertentu seperti golongan profesi.
Kebudayaan merupakan gabungan dari keseluruhan kesatuan yang ada dan tersusun secara unik sehingga dapat dipahami dan mengingat masyarakat pembentuknya. Setiap kebudayaan memiliki konfigurasi yang cocok dengan sikap-sikap dan kepercayaan dasar dari masyarakat, sehingga pada akhirnya membentuk sistem yang interdependen, dimana koherensinya lebih dapat dirasakan daripada dipikirkan pembentuknya. Kebudayaan dapat bersifat sistematis sehingga dapat menjadi selektif, menciptakan dan menyesuaikan menurut dasar-dasar dari konfigurasi tertentu. Kebudayaan akan lancar dan berkembang apabila terciptanya suatu integrasi yang saling berhubungan.
Dalam kebudayaan terdapat subsistem yang paling penting yaitu foci yang menjadi kumpulan pola perilaku yang menyerap banyak waktu dan tenaga. Apabila suatu kebudayaan makin terintegrasi maka fokus tersebut akan makin berkuasa terhadap pola perilaku dan makin berhubungan fokus tersebut satu dengan yang lainnya dan begitu pula sebaliknya. Kebudayaan akan rusak dan bahkan bisa hancur apabila perubahan yang terjadi terlalu dipaksakan, sehingga tidak sesuai dengan keadaan masyarakat tempat kebudayaan tersebut berkembang. Perubahan tersebut didorong oleh adanya tingkat integrasi yang tinggi dalam kebudayaan. Apabila tidak terintegrasi maka kebudayaan tersebut akan mudah menyerap serangkaian inovasi sehingga dapat menghancurkan kebudayaan itu sendiri.
d) Sifat Kebudayaan
Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat memiliki sifat seperti:
1. Bersifat organik dan superorganik karena berakar pada organ manusia dan juga karena kebudayaan terus hidup melampaui generasi tertentu.
2. Bersifat terlihat (overt) dan tersembunyi (covert) terlihat dalam tindakan dan benda, serta bersifat tersembunyi dalam aspek yang mesti diintegrasikan oleh tiap anggotanya.
3. Bersifat eksplisit dan implisit berupa tindakan yang tergambar langsung oleh orang yang melaksanakannya dan hal-hal yang dianggap telah diketahui dan hal-hal tersebut tidak dapat diterangkan.
4. Bersifat ideal dan manifest berupa tindakan yang harus dilakukannya serta tindakan-tindakan yang aktual.
5. Bersifat stabil dan berubah yang diukur melalui elemen-elemen yang relatif stabil dan stabilitas terhadap elemen budaya.
e) Teori-teori Kebudayaan
Ada tiga pandangan tentang kebudayaan, yakni:
1. Superorganik: kebudayaan adalah realitas super dan ada di atas dan di luar pendukung individualnya dan kebudayaan memiliki hukum-hukumnya sendiri. Inti pandangan superorganik adalah kebudayaan merupakan sebuah kenyataan sui generis, karena itu mesti dijelaskan dengan hukum-hukumnya sendiri. Kebudayaan tidak mungkin diterangkan dengan menggunakan sumbernya sebagaimana sebuah molekul dimengerti hanya dengan jumlah atom-atomnya, sumber-sumber bisa menjelaskan bagaimanan kebudayaan muncul, tetapi bukan kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan lebih daripada hasil kekuatan-kekuatan sosial dan ekonomi dan kebudayaan merupakan realitas yang menyebabkannya mungkin ada.
Pandangan superorganik mempunyai implikasi terhadap pendidikan. Yang pertama adalah bahwa pendidikan ialah sebuah proses mengontrol manusia dan membentuknya sesuai dengan tujuan kebudayaan. Kebijakan pendidikan ditentukan oleh individu-individu, tetapi individu-individu hanya alat melalui mana kekuatan-kekuatan budaya mencapai tujuannya. Jika kebudayaan menentukan perilaku anggota-anggotanya, kurikulum mesti dikembangkan atas kajian langsung dari keadaan kebudayaan sekarang dan masa depan. Pandangan superorganik juga berimplikasi pada pengawasan pendidikan yang ketat dari pemerintah untuk menjamin bahwa guru-guru menanamkan dalam diri generasi muda atas gagasan-gagasan, sikap-sikap dan keterampilan-keterampilan yang perlu bagi kelanjutan kebudayaan.
2. Konseptualis: kebudayaan bukanlah suatu entitas sama sekali, tetapi sebuah konsep yang digunakan antropolog untuk menghimpun/meunifikasikan serangkaian fakta-fakta yang terpisah-pisah. Menurut kaum konseptualis, pada akhirnya semua kebudayaan mesti diterangkan secara sosial psikologis. Kebudayaan bukan dihasilkan dari kekuatan super human karena kebudayaan mendapatkan semua kualitas dari kepribadian dan interaksi dari kepribadian.
Pengikut konseptualis setuju bila anak-anak harus mempelajari warisan budaya sesuai dengan perhatiannya. Melalui pengalamannya sendiri dengan mengetes pengalaman belajarnya dan orang lain bila mendapat pandangan dan hal yang objektif mengenai kebudayaan.
3. Realis: kebudayaan adalah kedua-duanya, yaitu sebuah konsep dan entitas empiris. Kebudayaan adalah konsep dimana ia bangunan dari Antropologi dan kebudayaan sebuah entitas empiris yang menunjukkan cara mengorganisir fenomena-fenomena. Beberapa antropolog mempertahankan bahwa kebudayaan merupakan konsep dan realita yang berbentuk konstruk, bukan sebagai satu entitas yang bisa diamati tapi nyata karena tidak berbeda dalam mengamatinya.
Menurut kaum realis terhadap pendidikan adalah dengan menanamkan pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan tertentu yang dipilih kebudayaan maka sistem pendidikan akan melatih individu untuk merubah kebudayaannya.
F.
Transmisi Budaya dan Pendidikan
Dalam kepustakaan antropologi pendidikan ditemukan
beberapa konsep yang paling penting, yakni enculturation
(pembudayaan/pewarisan), socialization (sosialisasi/pemasyarakatan), education
(pendidikan), dan schooling (persekolahan).
Menurut Herskovits, bahwa enkilturasi berasal dari aspek-aspek dari pengalaman belajar yang memberi ciri khusus atau yang membedakan manusia dari makhluk lain dengan menggunakan pengalaman-pengalaman hidupnya. Proses enkulturatif bersifat kompleks dan berlangsung hidup, tetapi proses tersebut berbeda-beda pada berbagai tahap dalam lingkaran kehidupan seorang. Enkulturasi terjadi secara agak dipaksakan selama awal masa kanak-kanak tetapi ketika mereka bertambah dewasa akan belajar secara lebih sadar untuk menerima atau menolak nilai-nilai atau anjuran-anjuran dari masyarakatnya. Bahwa tiap anak yang baru lahir memiliki serangkaian mekanisme biologis yang diwarisi, yang harus dirubah atau diawasi supaya sesuai dengan budaya masyarakatnya.
Kesamaan dari konsep enkulturasi dengan konsep sosialisasi terlihat dari pernyataan Herkovits yang mengatakan bahwa sosialisasi menunjukkan proses pengintegrasi individu ke dalam sebuah kelompok sosial, sedangkan enkulturasi adalah proses yang menyebabkan individu memperoleh kompetensi dalam kebudayaan kelompok.
Menurut Hansen, enkulturasi mencakup proses perolehan keterampilan bertingkah laku, pengetahuan tentang standar-standar budaya, dan kode-kode perlambangan seperti bahasa dan seni, motivasi yang didukung oleh kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan menanggapi, ideologi dan sikap-sikap. Sedangkan sosialisasi menurut Gillin dan Gillin adalah proses yang membawa individu dapat menjadi anggota yang fungsional dari suatu kelompok, yang bertingkah laku menurut standar-standar kelompok, mengikuti kebiasaan-kebiasaan kelompok , mengamalkan tradisi kelompok dan menyesuaikan dirinya dengan situasi-situasi sosial yang ditemuinya untuk mendapatkan penerimaan yang baik dari teman-teman sekelompoknya.
Menurut Herskovits, bahwa enkilturasi berasal dari aspek-aspek dari pengalaman belajar yang memberi ciri khusus atau yang membedakan manusia dari makhluk lain dengan menggunakan pengalaman-pengalaman hidupnya. Proses enkulturatif bersifat kompleks dan berlangsung hidup, tetapi proses tersebut berbeda-beda pada berbagai tahap dalam lingkaran kehidupan seorang. Enkulturasi terjadi secara agak dipaksakan selama awal masa kanak-kanak tetapi ketika mereka bertambah dewasa akan belajar secara lebih sadar untuk menerima atau menolak nilai-nilai atau anjuran-anjuran dari masyarakatnya. Bahwa tiap anak yang baru lahir memiliki serangkaian mekanisme biologis yang diwarisi, yang harus dirubah atau diawasi supaya sesuai dengan budaya masyarakatnya.
Kesamaan dari konsep enkulturasi dengan konsep sosialisasi terlihat dari pernyataan Herkovits yang mengatakan bahwa sosialisasi menunjukkan proses pengintegrasi individu ke dalam sebuah kelompok sosial, sedangkan enkulturasi adalah proses yang menyebabkan individu memperoleh kompetensi dalam kebudayaan kelompok.
Menurut Hansen, enkulturasi mencakup proses perolehan keterampilan bertingkah laku, pengetahuan tentang standar-standar budaya, dan kode-kode perlambangan seperti bahasa dan seni, motivasi yang didukung oleh kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan menanggapi, ideologi dan sikap-sikap. Sedangkan sosialisasi menurut Gillin dan Gillin adalah proses yang membawa individu dapat menjadi anggota yang fungsional dari suatu kelompok, yang bertingkah laku menurut standar-standar kelompok, mengikuti kebiasaan-kebiasaan kelompok , mengamalkan tradisi kelompok dan menyesuaikan dirinya dengan situasi-situasi sosial yang ditemuinya untuk mendapatkan penerimaan yang baik dari teman-teman sekelompoknya.
Bagi Herskovits, pendidikan (education) adalah ”directed learning” dan persekolahan (schooling) adalah “formalized learning”. Dalam literature pendidikan dewasa ini dikenal istilah pendidikan formal, informal dan non-formal. Pendidikan formal adalah system pendidikan yang disusun secara hierarkis dan berjenjang secara kronologi mulai dari sekolah dasar sampai ke universitas dan disamping pendidikan akademis umum termasuk pula bermacam-macam program dan lembaga untuk pendidikan kejuruan teknik dan profesional.
Pendidikan informal adalah pendidikan seumur hidup yang memungkinkan individu memperoleh sikap-sikap, nilai-nilai, keterampilan-keterampilan dan pengaruh-pengaruh yang ada di lingkungannya dari keluarga, tetangga. Label informal berasal dari kenyataan bahwa tipe proses belajarnya bersifat tidak terorganisasi dan tidak tersistematis. Pendidikan informal biasanya dilaksanakan dalam masyarakat sederhana dimana belum ada sekolah.
Karangan Margared Mead mengenai pendidikan dalam masyarakat sederhana (1942), dimana ia membedakan antara learning cultures dan teaching cultures atau kebudayaan belajar dan kebudayaan mengajar. Dalam golongan yang pertama, warga masyarakatnya belajar dengan cara yang tidak resmi yaitu dengan berperan serta dalam kehidupan rutin sehari-hari. Dimana mereka memperoleh segala pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang mereka perlukan untk dapat hidup dengan layak dalam masyarakat dan kebudayaan mereka sendiri. Dalam golongan yang kedua, warga masyarakat mendapat pelajaran dari warga-warga lain yang lebih tahu, yang seringkali dilakukan dalam pranata-pranata pendidikan yang resmi, dimana mereka memperoleh segala pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang mereka perlukan.
Pendidikan non-formal merupakan kegiatan terorganisasi di luar kerangka sekolah formal atau sistem universitas yang ada yang bertujuan untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan tertentu, pengetahuan, sikap-sikap. Pendidikan non-formal memusatkan perhatian kepada perbaikan kehidupan sosial dan kemampuan dalam pekerjaan. Pendidikan non-formal lebih berorientasi terhadap menolong individu-individu memecahkan masalah mereka, bukan pada penyerapan isi kurikulum tertentu. Pengajaran dilakukan melalui kerjasama dengan guru, umpamanya dengan pekerja-pekerja ahli, pekerja sosial, penyuluh pertanian, dan petugas kesehatan.
KONSEP DASAR PENDIDIKAN
A. Pengertian dan Tujuan Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Secara umum Pendidikan berasal dari kata pedagogi (paedagogie, Bahasa Latin) yang berarti pendidikan dan kata pedagogia (paedagogiek) yang berarti ilmu pendidikan (Purwanto dalam Sukarjo,2009:7) yang berasal dari bahasa Yunani. Pedagogia terdiri dari dua kata yaitu ‘Paedos’ (anak) dan ‘Agoge’ yang berarti saya membimbing, memimpin anak. Sedangkanpaedagogos ialah seorang pelayan atau bujang (pemuda) pada zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak (siswa) ke dan dari sekolah. Perkataan paedagogos yang semula berkonotasi rendah (pelayan, pembantu) ini, kemudian sekarang dipakai untuk nama pekerjaan yang mulia yakni paedagogos (pendidik atau ahli didik atau guru).
Menurut UU SISDIKNAS No. 20
tahun 2003:
“Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat”.
Menurut Ahmadi (2001:70) pendidikan pada hakekatnya suatu kegiatan yang secara
sadar dan disengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh orang
dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut
mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus menerus.
Dari
sudut pandang ini pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang dalam
membimbing dan memimpin anak menuju ke pertumbuhan dan perkembangan secara
optimal agar dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab.
Itulah
sebabnya istilah pedagogi dapat diartikan sebagai “ilmu dan seni mengajar
anak “ (the art and science of teaching children).
2. Tujuan Pendidikan
Mendidik adalah kegiatan memberi pengajaran, membuat seorang memahami, dan
dengan pemahaman yang dimiliki peserta didik sehinggadapat mengembangkan
potensi diri dengan menerapkan apa yang dipelajari.
Proses itu dapat berlangsung seumur hidup dan pencapaian tujuan pendidikan
tidak akan berhenti saat kehidupan seseorang berakhir. Dalam kurikulum terbaru
yang dirilis pemerintah saat ini, (KTSP -Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan),
sekolah menjadi penyelenggara pendidikan yang berhak menentukan sendiri indikator
bagi setiap kompetensi dasar dari semua mata pelajaran.
Tujuan pendidikan sejati tidaklah hanya mengisi ruang-ruang imajinasi dan
intelektual anak, mengasah kepekaan sosialnya, ataupun memperkenalkan mereka
pada aspek kecerdasan emosi, tapi lebih kepada mempersiapkan mereka untuk
mengenal Tuhan dan sesama untuk pencapaian yang lebih besar bagi kekekalan.
Tujuan pendidikan secara umum
dapat dilihat pada:
1. UU No2 Tahun
1985 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya
yaitu yang beriman dan dan bertagwa kepada tuhan yang maha esa dan berbudi
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan kerampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan berbangsa.
2. Tujuan
Pendidikan nasional menurut TAP MPR NO II/MPR/1993 yaitu Meningkatkan
kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju,
tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja profesional
serta sehat jasmani dan rohani.
Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan memepertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawaan sosial, serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.
Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan memepertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawaan sosial, serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.
3. TAP MPR No
4/MPR/1975, Tujuan Pendidikan adalah membangun di bidang pendidikan
didasarkan atas falsafah negara pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia
pembangun yang berpancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan
rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan
kreatifitas dan tanggung jawab dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh
tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi
pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai
dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945, Bab II (Pasal 2, 3, dan 4).
Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa Tujuan sistem
pendidikan nasional, membentuk manusia
Indonesiayang diharapkan dapat menjadi individu yang
mempunyai kemampuan dan keterampilan untuk secara mandirimeningkatkan taraf
hidup lahir batin, dan meningkatkan perannya
sebagai pribadi, pegawai/karyawan, warga masyarakat, warga
negara, dan mahluk Tuhan.
B. Unsur-unsur Pendidikan
Unsur-unsur yang ada dalam
pendidikan adalah:
1. Komunikasi
2. Kesengajaan
3. Kewibawaan
4. Normatif
5. unsur anak
6. Unsur kedewasaan
C. Jenis-jenis Pendidikan
Pendidikan
pada umumnya ada beberapa jenis yang menjadi pembeda dan dapat dikelompokan
sebagai berikut:
1. Menurut
tingkat dan sistem persekolahan
2. Menurut tempat
berlangsungnya pendidikan
3. Menurut cara
berlangsungnya pendidikan
1. Menurut aspek pribadi yang disentuh
Jenis
pendidikan juga adalah
satuan pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan tujuannya.
Menurut
Philip H. Coombs mengklasifikasikan pendidikan kedalam tiga bagian
yaitu:
a. Pendidikan informal
(pendidikan luar sekolah yang tidak dilembagakan)
·
Pendidikan luar sekolah
yang tidak dilembagakan adalah proses pendidikan yang diperoleh seseorang dari
pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar, pada umumnya tidak
teratur dan sistematis, sejak seseorang lahir sampai mati, seperti di dalam
keluarga, tetangga, pekerjaan, hiburan, pasar, atau di dalam pergaulan
sehari-hari.
b. Pendidikan formal
(pendidikan sekolah)
·
Pendidikan sekolah
adalah pendidikan disekolah, yang teratur, sistematis, mempunyai jenjang dan
yang dibagi dalam waktu-waktu tertentu yang berlangsung dari taman kanak-kanak
sampai perguruan tinggi.
c. Pendidikan non-formal
(pendidikan luar sekolah yang dilembagakan)
·
Pendidikan luar sekolah
yang dilembagakan adalah semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan
sengaja, tertib, terarah dan berencana di luar kegiatan persekolahan. Dalam hal
ini, tenaga pengajar, fasilitas, cara penyampaian, dan waktu yang dipakai,
serta komponen-komponen lainya disesuaikan dengan keadaan peserta, atau peserta
didik supaya mendapatkan hasil yang memuaskan (Fuad Ihsan, 2010).
PENDIDIKAN DAN
ANTROPOLOGI
Dalam arti luas, pendidikan mencakup setiap proses, kecuali yang bersifat
genetis, yang mendorong pembentukan pikiran, karakter, atau kapasitas fisik
seseorang. Proses tersebut berlangsung seumur hidup, karena kita harus
mempelajari cara berfikir dan bertindak yang baru dalam setiap perubahan besar
dalam hidup kita. Dalam arti sempit, pendidikan adalah penanaman pengetahuan,
keterampilan, dan sikap pada masing-masing generasi dengan menggunakan
pranata-pranata seperti sekolah-sekolah yang sengaja diciptakan untuk tujuan
tersebut. Istilah pendidikan juga
berarti disiplin ilmu (termasuk psikologi, sosiologi, sejarah, dan filosofi
pendidikan) yang subjeknya pendidikan dalam arti yang kedua tadi di atas.
Kemudian agar dapat dimengerti apa
yang dapat di capai oleh sistem persekolahan kita dan dalam cara-cara apa
faktor budaya menghalanginya maka haruslah pendidikan di lihat dalam konteks
kebudayaan secara keseluruhan. Disini, pendidik dan antropolog mesti berkerja
sama, karena pendidik kurang memahami kebudayaan secara terperinci sebagaimana
halnya antropolog.
Karena tugas utama pendidikan adalah
untuk mengekalkan hasil-hasil prestasi kebudayaan, pendidikan pada dasarnya
bersifat konservatif. Namun, sejauh pendidikan bertugas menyiapkan
pemuda-pemuda untuk menyesuaikan diri kepada kejadian-kejadian yang dapat
diantisipasikan di dalam dan di luar kebudayaan, pendidikan telah merintis
jalan untuk perubahan kebudayaan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata-kata kunci dalam pembahasan
antropologi, sebagai landasan kunci dalam kehidupan berbudaya serta
bermasyarakat adalah konsep-konsep dasar yang telah dijelaskan di atas, yang
mana meliputi ciri-ciri dari suatu kebudayaan yang bermakna di dalam pola kehidupan
masyarakat manusia seperti tradisi, pengetahuan, lembaga, seni, bahasa, lambang
dan lain-lain yang mencerminkan suatu kebudayaan tersebut. Untuk mempelajari
dan mengembangkan suatu kebudayaan ada hal yang menonjol pada jenis manusia
yaitu, budaya belajar, yang membawa kemajuan yang sangat pesat pada diri
manusia. Budaya belajar, menjadi landasan pelaksanaan pendidikan yang membawa
kemajuan manusia dengan segala aspek serta unsur kebudayaan bahkan melalui
pendidikan ini, segala sesuatu yang melekat pada diri manusia yang menjadi
konsep dasar antropologi itu juga mengalami pergeseran. Misal adanya pergeseran
tradisi, nilai, norma dan kelembagaan. Yang selanjutnya juga berdampak pada
perkembangan dan kemajuan pengetahuan, ilmu dan teknologi, bahkan juga terjadi
pengaruh sebaliknya.
B.
Saran
Dengan mengetahui kondisi tiap
kelompok masyarakat dalam hal tradisi, kebiasaan dan kemampuan IPTEK, kita akan
mampu memahami dan menghargai keadaan masyarakat yang bagaimanapun dan dimana
pun. Tidak justru sebaliknya kita semua mencemooh mereka. Melalui IPS, kita
wajib membawa peserta didik ke arah yang saling mengerti dan saling menghargai
sesama kelompok masyarakat dalam keadaan yang bagaimana pun serta di mana pun.
Daftar Pustaka
Fuad Ihsan. 2010. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Hibana. 2002. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini.
Yogyakarta. PGTWI Press.
Koentjaraningrat.
2009. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta : PT Rineka Cipta.
Nursid,
Sumaatmadja. 2008. Konsep Dasar IPS.
Jakarta : Universitas Terbuka.
Wallace,
Anthony F.C. 1991. Culture and
Personality. Random House. New York.